Selasa, 30 Juni 2009

huehuehue

hiihhi... lama g apdet blog ini.y karena kesibukan jumpa fans dan pembagian tanda tangan yg semakin padat.(cuih..cuih..) y maaf klo blognya jarang apdet (bilang aja lebih sering update blog yg musik..)hehehhe.

oke deh... lets begun... beberapa minggu ini kayaknya lebih sibuk daripada minggu-minggu yg kemaren.soalnya,alhamdulilah lebih banyak kerjaan.hehehe.y as you know,banyak kerja banyak rejeki (g cuman banyak anak banyak rejeki.hihihi).mulai dari berpetualang ke sebuah sma yg letaknya di tengah sawah(gamau nyebut,ntr kena pasal.hiihhi)

akhir ini banyak bgd kejadian-kejadian yg mencenangkan.gmn klo kita bahas satu-satu?
okeh?okeh?huehuehuehue

yg pertama si Pemilu,alias Pemilihan Umun.hummm..klo bahas masalah politik,sebenernya dan sesungguhnya sih gw g sebegitu pahamnya.liat debat presiden di televisi pun malah ngantuk.hihihihi.well,g sebijak itu buat bilang : "i don't care" ma yg namanya politik ato pemilu.ya sebagai mana kita tau,kita bakalan milih seorang pemimpin bangsa yg bakalan menentukan arah roda perekonomian indonesia untuk jangka waktu 5 tahun kedepan (tuh kan,tulisannya udah berbau politik..jadi bikin ngantuk.hihihi).ehm...pemilu yg dilaksanakan bbrapa hari kemaren sih,gw g sempat ngeliput sih.gabisa take a pic buat berita + di post disini(hasrat wartawan mode on.huehuehue).ada alasan juga sih kenapa gw gabisa ngeliput langsung dari TKP eh,TPS di tempat gw.dikarenakan............... GW TELAT BANGUN. ah cetan... boro2 ke TPS,ke tempat gawe aje ngebut.potong kanan,ambil kiri,salip²an ma sepeda roda tiga (lho?).dan hasilnya? tetep aja telat.hiks..hiks...y buat hiburan para pakar politik yg baca postingan gw ini,gw kasih screenshot hasil sementara per tanggal 10 Juni 2009 jam 16:00

















huehuehue...hasil skrinsut detik.hihiihi.y kan gw udah bilang klo gw g sebegitu pahamnya ma politik.lagian,GW G NYONTRENG.hihihihihi


eniwei,gw dengan bangga mempersembahakan salah satu hasil kertas suara yg keren abis :


heuhuehuehue.. gmn? keren kan?hihiihih.



oke deh..beranjak ke kejadian yg kedua.yg kedua ini sih tentang kecelakaan.akhir ini bener² banyak kecelakaan.banyangin aja,dalam sepekan ada 7 nyawa melayang.beuh,bener² tragis...
klo kata emak gw dirumah,,"y kan bentar lagi 2012...". (**emak gw kan keren)
setiap kejadian asti ada hikmahnya..kata Aa' Gym sih gt.y g A'? y donk...pastinya...... hihiihhi.
klo menurut gw sih sisi baiknya,pengurangan pengangguran,pengurangan pembalap liar,dan penghematan BBM.hihiihihi.okeh,gw bahas satu persatu kejadian kecelakaan yg gw tau(maapkan klo ada kejadian yg saya lewatkan.huehuehue).



buat kejadian yg kedua,,,
uhmm....dipending dulu ajah ke post selanjutnya deh.hiihhihi.
ditagih ma andheena buat update link Boys Before Flower di IMZ



see ya in next post ^^

Senin, 01 Juni 2009

Jakarta Oh Jakarta...

...dwi bahasa neeh... hihihihi

Jakarta: In Need of Improvements




Andre Vitchek

Worldpress.org contributing editor

July 26, 2007


Today, high-rises dot the skyline, hundreds of
thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and
super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta ,
the fourth largest city in the world. In between towering
super-structures, humble kampongs house the majority of the city
dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water
or waste management.



Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh
ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat
kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di
dunia. Terjepit di antara gedung tinggi, terhampar perkampungan di mana
bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses
sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.



While almost all major capitals in the Southeast
Asian region are investing heavily in public transportation, parks,
playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert
halls and convention centers, Jakarta remains brutally and
determinately 'pro-market' profit-driven and openly indifferent to the
plight of a majority of its citizens who are poor.



Di saat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara
menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman
kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti
museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL
dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib
mayoritas penduduknya yang MISKIN.



Most Jakartans have never left Indonesia , so they cannot compare their
capital with Kuala Lumpur or Singapore ; with Hanoi or Bangkok. Comparative
statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact
that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the
local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling
metropolis."

Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,
sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala
Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok. Liputan dan statistik
pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun
bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa
setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" ,
dan "metropolis" .



Newcomers are often puzzled by Jakarta 's lack of
public amenities. Bangkok, not exactly known as a user-friendly city,
still has several beautiful parks.
Even cash-strapped Port Moresby, capital of Papua New Guinea, boasts wide
promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks.
Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide
sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila,
another city without a glowing reputation for its public amenities, has
succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with
countless cafes and entertainment venues while preserving its World
Heritage Site at Intramuros. Hanoi repaved its wide sidewalks and
turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.

Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi
Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal
sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang
menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin,
terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di
pinggir laut yang indah.



But in Jakarta , there is a fee for everything. Many green spaces have been
converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately
one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in
a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta
has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol,
with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with
private businesses.

Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau
diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas
seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya
kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun
menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut
dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya
berupa pantai kotor.



Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately
$4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable
anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived
privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.

Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang
anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk,
satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman
publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.




There are no sidewalks in the entire city, if one applies international
standards to the word "sidewalk." Almost anywhere in the world (with the
striking exception of some cities in the United State, like Houston and Los
Angeles) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly
discouraged from travelling in the city centres. Wide sidewalks are understood
to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance public
transportation in areas with high concentrations of people.


Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota
(tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar
"internasional" ). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa
kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil
seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang
lebar merupakan sarana transportasi publik jarak pendek yang paling
efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.




In Jakarta , there are hardly any benches for people to sit and relax, and
no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but
important, 'details' that are symbols of urban life anywhere else in the
world.

Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak
ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat
penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.




Most world cities, including those in the region, want to be visited and
remembered for their culture. Singapore is managing to change its
'shop-till-you- drop' image to that of the centre of Southeast Asian arts. The
monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate
international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring
performances from some of the leading contemporary artists from the
region. Many performances are subsidized and are either free or cheap,
relative to the high incomes in the city-state.


Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota
belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang
monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan
konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, di
samping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang
disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan
pendapatan warga kota yang relatif tinggi.




Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is
located right under the Petronas Towers, among the tallest buildings in the
world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra
companies as well top international performers. The city is currently spending
further millions to refurbish its museums and galleries, from the National
Museum to the National Art Gallery.



Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser
philharmonic yang terletak persis di bawah Petronas Tower, salah satu gedung
tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan
grup orkestra lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang
menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dariMus eum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.




Hanoi is proud of its culture and arts, which are
promoted as its major attraction millions of visitors flock into the
city to visit countless galleries stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.



Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik
jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung
jumlahnya, di mana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik
di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler
mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.



Bangkok's colossal temples and palaces coexist with
extremely cosmopolitan fare international theater and film festivals,
countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on
the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of
the world. When it comes to music, live performances and nightlife,
there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila.


Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan
teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung
jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia.
Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara
yang semeriah Manila .




Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's 'public
libraries' or National Archives building will know the difference. No wonder; in
Indonesia education, culture and arts are not considered to be 'profitable'
(with the exception of pop music), and are therefore made absolutely
irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on
education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP)
after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly
improving with the new progressive government).



Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung
ke "perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya.
Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap
"menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan.
Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif).




Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no
important international exhibitions. They look like they fell on the city from a
different era and no wonder the Dutch built almost all of them. Not only are
their collections poorly kept, but they lack elements of modernity there are no
elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It
appears that the individuals running them are without vision and
creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would
be no funding to carry them out.



Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak
menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti
berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun
semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan
unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau
perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi
atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas,
pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.




It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that
have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great
majority, no matter what the understated and manipulated government
statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which
now controls almost everything, from residential housing to what were
once public areas.



Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang
swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk
yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data
statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis
menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan
semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.




While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully
eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas,
Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable
housing equipped with running water, electricity, a sewage system,
wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a
mass public transportation system.


Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di
Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh
dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi
dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain,
trotoar dan sistem transportasi massal.




Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts
one metroline (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines,
suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its
new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern,
clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on
"Rapid" costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on
the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also
available.


Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa
memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur
LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang
menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem "Rapid"
memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi,
tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00)
untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket
abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.




Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines
and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both public
transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous
progress, the Bangkok city administration claims that it is building an
additional 50 miles (80 kilometers) of tracks for these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use public transportation. Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.



Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur
panjang "Sky Train" dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan
sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata.
Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok. Jakarta? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.




Mercer Human Resource Consulting, in its reports
covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of
poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi
and Medellin.

Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas
hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di
Afrika dan Asia Selatan, bahkan di bawah kota Nairobi dan Medellin




Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of
the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource
Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city
in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd),
Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for
expatriates, how is it for local people with a GDP per capita below
$1,000?



Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup di
sana tidaklah murah. Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting
tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk
ekspatriat, jauh di atas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan
Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal, apalagi
buat penduduk lokal yang pendapatan per kapita DI BAWAH $1000??




Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air
quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even
selling themselves at the major intersections; to entire communities living
under elevated highways and in slums on the shores of canals turned
into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.



Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas
udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan
jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai
yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam,
dengan banjir dan tikus.




But if there is to be any hope, the truth has to
eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and
brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the
truth can be, it is always better than self-deceptions and lies.
Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighbouring
countries in aesthetics, housing, urban planning, standard of
living, quality of life, health, education, culture, transportation, food
quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur,
Singapore, Brisbane and even in some instances from its poorer neighbours like Port Moresby , Manila and Hanoi.



Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan
semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang
bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih
baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh di
belakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman,
kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang
Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kuala
Lumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari
tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.




Comparative statistics have to be transparent and widely available.
Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand
answers and accountability. Only if they understand to what depths
their city has sunk can there be any hope of change. "We have to watch
out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve
celebrations in Kuala Lumpur . " Malaysia suddenly has too many
problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30
years like Jakarta!"



Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar
bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas.
Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah
terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata
produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. "
Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30
tahun Kuala Lumpur akan bernasib sama seperti Jakarta!"




Could this statement be reversed? Can Jakarta find
the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala
Lumpur ? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and
replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green
spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals
expand?

Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan
dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kuala Lumpur?
Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas
dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil,
dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?


An outsider like me can observe, tell the story and
ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and
solutions.


Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya.
Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya.


______________________________________________________________________

Itulah Indonesia Raya .....

Abis Jakarte Surabaya ... Ujung Pandang, Medan dll, coba loe lihat lingkungan kota kota tsb, ampir ampir sama dengan Jakarta, bedanya Jakarta cuman Ibukota doang!

Terkadang gua berpikir kalo kita masih dibawah Belanda, gua yakin Jakarta gak seancur gini! Lalu kenapa? Apa Negeri ini kurang orang Pintar?
Tidak ....

Malah sebaliknya, kebanyakan, saking banyak, banyak yg pintar ngibuilin rakyat, Mark Up anggaran lah, demi kepentingan pribadi atau kelompok Itulah salah satu alasan juga kenapa Jalanan di negeri ini sering tambal bolong getu!

Hal yg laen adalah banyak orang rakus di negeri ini, entah itu aparat, pejabat, dll, saking rakus dan lapar, jatah untuk orang miskin dan membutuhkan dimakan juga!

Negeri ini butuh orang pemimpin yg bukan hanya pintar tapi juga peroso, yg bisa rasakan penderitaan rakyat dan berempati dengan beban mereka
Yah, kita butuh pemimpin yg peka mata hatinya, bukan peka terhadap jabatan atau duit ....